Article Detail
Sao Carlos, Asa untuk Bumi Lorosae
Timor Leste, negeri yang tidak pernah terpikirkan dan terencanakan sebelumnya untuk saya kunjungi menjadi negeri yang membawa banyak cerita indah bagi saya dan enam rekan lainnya dari wilayah Jakarta (Bu Tintin dan Bu Mia), Tangerang (Pak Teguh), Yogyakarta (Bu Tina), Lahat (Pak Heri), Magelang (Bu Renny) dan Surabaya (Bu Kristin). Bahagianya, bahwa setelah melalui proses seleksi, kami akhirnya terpilih dan diutus oleh Yayasan Tarakanita untuk mengikuti program mentoring guru-guru di sekolah Sao Carlos Timor Leste.
Setelah dua hari kami memperoleh pembekalan oleh Tim Tarakanita Pusat di TDC Rawamangun, tanggal 13 Agustus 2018 pukul 3.30 WIB kami berangkat ke Bandara Soekarno Hatta menuju Timor Leste dengan menumpangi Sriwijaya Airline.Karena tidak adanya penerbangan langsung dari Jakarta ke Timor Leste maka kami harus transit di Bali dahulu. Delay lebih kurang 4 jam kami pergunakan untuk berkeliling serta mengambil foto di sekitar taman bandara Ngurah Rai. Aroma yang khas dan wangi di bandara, udara yang sejuk serta berada bersama warga negara asing yang juga sedang menunggu keberangkatan membuat kami tidak merasa bosan dengan delay keberangkatan yang lama di bandara yang dijuluki Bandara Kedamaian oleh Sri Chinmoy seorang mantan master spiritual India yang terkenal di berbagai belahan negara. Saya dapat melihatnya dari tulisan serta tugunya yang dibangun berada antara perbatasan penerbangan domestik dan internasional.
Ada hal yang unik ketika kami berada di dalam kabin pesawat, sesaat sebelum pesawat yang kami tumpangi “landing” pramugari menyemprotkan kami cairan, sebuah prosedur khusus yang harus dilakukan jika ingin ke Timor Leste. Mereka mengatakan bahwa cairan itu bertujuan untuk mensterilkan bakteri dan kuman-kuman yang terdapat di pesawat, “tenang, cairan ini tidak berbahaya bagi tubuh, ujar seorang pramugara.Pukul 17.30 Waktu Timor Leste tibalah kami di Presidente Nicolau Lobato.Segera sesaat kami keluar dari pesawat tiba-tiba hujan deras turun sehingga kami pun harus berlari terburu-buru menuju area kedatangan di bandara.Kami disambut dengan pelukan hangat Madre Bertha (Madre sebutan untuk suster di Timor Leste)dan dengan cekatan madre langsung membantu kami untuk mengisi lembaran Visa On Arrival yang harus diisi dan diserahkan ke bagian imigrasi. Dalam waktu sekitar 45 menit setelah urusan di bagian imigrasi selesai kami pun segera keluar dari bandara dan bertemu dengan madre Imelda yang juga sudah menanti kami.
Mobil yang kami naiki langsung menuju ke Grapari Telkomcel yang ada di Timor Plaza salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota Dilli untuk membeli nomor dan paket internet karena provider jaringan kami yang dari Indonesia tidak berlaku di Timor sehingga kami dapat menghubungi keluarga kami selama berada di Timor Leste. setelah menempuh perjalanan panjang akhirnya kami sampai di biara suster CB sering dikenal dengan Biara Bebora tempat yang kami pakai selama berada di Timor Leste. Sambutan hangat kembali kami dapatkan dari madre-madre yang ada di Biara yang segera menawarkan kami makan malam bersama.
Timor Leste adalah sebuah negara kecil dengan luas tidak lebih besar dari provinsi yang saya tinggali saat ini merupakan sebuah negara yang dahulunya adalah bagian dari wilayah Indonesia yang menjadi provinsi ke 27. Namun karena berbagai konflik yang terjadi akhirnya pada tahun 1999 Timor Leste melepaskan diri dari NKRI dan menjadi negara merdeka dan sekarang menjadi anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) kesebelas. Berdasarkan sejarah yang cukup pahit ini sempat menimbulkan sedikit kekuatiran bagi kami apakah kedatangan kami akan diterima oleh masyarakat khususnya siswa dan guru di sekolah Sao Carlos.
Namun kekuatiran ini menjadi sirna ketika Selasa pagi, hari pertama kami mengunjungi Ensinu Baziku Sao Carlos (Ensinu Baziku/EB sama dengan Sekolah Dasar/SD)tanpa rasa takut dan malu siswa-siswi dengan berlari menuju kearah kami lansung segera menyalami kami dengan mengucapkan Bondia Prosefora (selamat pagi ibu guru) bahkan ada yang memeluk dan mencium kami. Dengan wajah yang penuh keceriaan kami juga disambut dengan para madre, guru dan karyawan EB Sao Carlos.Rasa haru menusuk sampai ke dalam lubuk hati kami menggambarkan betapa bahagia kami diterima dengan penuh keramahan dan kehangatan seakan-akan kami adalah keluarga mereka yang telah lama hilang dan akhirnya bertemu kembali.Suasana yang sangat langka sekali saya dapatkan di sekolah-sekolah Tarakanita.Siswa cenderung pasif ketika menyapa para gurunya bahkan seringkali para guru yang harus menyapa siswa terlebih dahulu ketika berpapasan.Satu nilai positif yang sangat baik bila ini juga digemakan lagi di sekolah-sekolah Tarakanita.Pukul 7.30 anak-anak dikumpulkan di lapangan untuk diajak bernyanyi, berdoa serta pemberian motivasi sebelum mereka memulai pembelajaran yang dimulai setiap harinya pada pukul 08.00.Hal ini menjadi sebuah pembiasaan bagi EB Sao Carlos guna mempersiapkan siswa-siswa siap untuk belajar di dalam kelas.Karena ini hari pertama kami di EB Sao Carlos, mereka melakukan upacara penyambutan dan kami pun memperkenalkan diri di depan seluruh siswa EB Sao. Setelah itu aktivitas kami lanjutkan dengan observasi lingkungan sekolah dan mengunjungi postulan dan novisiat CB tepat berlokasi di samping EB Sao Carlos. Setelah selesainya proses pembelajaran kami berkumpul di aula sekolah untuk acara penyambutan kami secara resmi oleh kepala TK dan SD Sao Carlos. Pengalaman yang menarik dan menggembirakan bagi saya ketika akan mengakhiri acara penyambutan kami diajak “tebe-tebe” semacam tari penyambutan ala Timor dengan menari sambil bergandengan tangan dan berputar yang menandai diterimanya kami disana. Dalam hitungan yang tidak lama kami dapat langsung mengakrabkan diri serta bercanda tawa dengan mereka.
EB Sao Carlos merupakan sekolah dasar yang bernaung di bawah Yayasan Stella Duce menjadi sekolah binaan dari Yayasan Tarakanita berlokasi di Manleuana.Tidak heran jika banyak kesamaan dari ucapan salam, lagu, yel-yel, motto kami lihat dengan Tarakanita yang mereka terjemahkan ke dalam Bahasa Tetun. Salah satu contohnya yel-yel. Bila Tarakanita menyerukan “Tarakanita!satu hati, satu semangat, Tarakanita, Yes!” merekapun memiliki yel-yel yang sama. Dalam Bahasa Tetunnya “Comprimentos Sao Carlos! Fuan Ida, Esperito Ida, Sao Carlos Yes!”sungguh menggambarkan ikatan yang begitu erat antar kedua lembaga yang berada di dalam satu wadah karya pelayanan suster-suster cinta kasih Carolus Borromeus.
Sekolah yang terletak tepat di Kota Dilli ini memiliki bangunan yang berdiri kokoh.Decak kagum saya melihat kemegahan bangunan sekolah ketika saya mulai memasuki gerbang sekolah menuju ruang tunggu hingga masuk ke dalam area sekolah. Bangunan yang telah dibangun 5 tahun silam ini memiliki konstruksi bangunan mirip dengan gaya Eropa. Fasilitas yang dimiliki pun sudah cukup lengkap.Beberapa jenis tanaman tampak terpeliharamenghiasi pemandangan di area sekolah.
EB Sao Carlos memiliki siswa yang baru memasuki jenjang kelas 4 karena baru beroperasi 4 tahun.Syukur kepada Tuhan bahwa sekolah ini menjadi salah satu sekolah favorit pilihan masyarakat Timor untuk menyekolahkan putra-putri mereka.Karena minat yang tinggi dan tidak dibarengi dengan jumlah guru yang cukup dengan terpaksa sekolah ini masih membatasi jumlah siswanya.Sekolah ini menggunkaan sistem caturwulan berbeda dengan di Indonesia yang menggunakan sistem semester.Sehingga ketika kami datang mereka baru saja memasuki awal pembelajaran.
Selama 4 hari kami berproses bersama dengan siswa dengan para guru.Pertama-tama kami diberikan tugas untuk mementor masing-masing 3 orang guru.Dengan berbekal model pembinaan “Lesson Study” yang diberikan saat pembekalan di Jakarta oleh Bapak Eto dari Divisi Pendidikan Yayasan Tarakanita kantor Pusat kemudian kami mulai melakukan observasi sebagai langkah pertama dalam proses mentoring. Para mentee menyerahkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kepada kami untuk kami dapat pelajari. Awalnya sangat sulit saya pahami karena bahasa RPP yang digunakan adalah Bahasa Tetun namun beruntungnya, dua diantara tiga mentee yang saya bina cukup fasih berbahasa Indonesia sehingga mereka dapat menjelaskan kepada saya RPP mereka.
Sangat disayangkan bahwa buku-buku penunjang pembelajaran maupun buku bacaan belum saya jumpai di kelas-kelas yang saya observasi. Sehingga pembelajaran sungguh hanya berpusat atas apa yang guru ajarkan kepada siswa(teacher-centered). Fasilitas berbasis teknologi informasi juga masih kurang dipahami dan dipergunakan oleh para guru disana sehingga pembelajaran cenderung monoton. Tampaknya Dinas pendidikan disana belum dapat menyiapkan buku-buku penunjang bagi siswa-siswa untuk membantu mereka dalam proses pembelajaran yang ideal.
Setelah observasi kami lakukan, kami bertemu dan berdiskusi bersama tentang bagaimana proses pembelajaran tadi berjalan, membantu mereka memahami bagaimana idealnya sebuah proses pembelajaran dengan merekomendasikan bagaimana bentuk/model/instrument/penilaian pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Kami juga sudah dipesankan sebelumnya oleh para pembimbing pusat bahwa tidak harus muluk-muluk. Biarpun hanya sedikit kontennya namun dapat mereka terapkan sudah merupakan sebuah keberhasilan dalam proses mentoring. Beruntungnya mereka sebelumnya sudah mendapatkan pembinaan baik dari kedatangan tim mentoring I maupun dari divisi pendidikan Yayasan Tarakanita pusat yang sudah beberapa kali datang langsung dan membina mereka sehingga apa-apa yang kami sampaikan, mereka segera dapat memahaminya.
Permasalahan yang terjadi di dalam kelas ketika kami berdiskusi bersama dengan para guru dan mengikuti proses pembelajaran yang berlangsung hampir sama dengan pengalaman kami mengajar di sekolah Tarakanita. Salah satunya adalah pengelolaan kelas.Hal ini dapat dimaklumi oleh kami karena hampir semua guru-guru disana adalah guru muda.Sehingga mereka mungkin belum punya banyak pengalaman untuk mengatasinya. Dengan senang hati kamipun membagikan kiat atau trik yang biasanya kami praktikkan kepada siswa tanpa harus marah-marah karena pastinya hanya akan membuang energi yang percuma. Mereka sangat gembira menerimanya.Hari esoknya setelah kami melakukan proses mentoring sungguh terlihat progress dari cara mereka mengajar sehingga suasana pembelajaran nampak hidup dan menyenangkan serta pengelolaan kelas yang sudah semakin baik. Mereka pun mengakui ada kemajuan dari hasil rekomendasi kami kepada mereka.Hal ini sungguh menjadi apresiasi tersendiri bagi kami.
Proses mentoring yang kami lakukan di sekolah berlangsung hanya empat hari dari tanggal 14 – 17 Agustus 2018. Waktu yang cukup singkat bagi kami untuk dapat membagikan lebih banyak lagi apa yang kami miliki kepada mereka. Kedatangan kami kesana bertepatan dengan hari libur Nasional untuk memperingati hari pahlawan mereka sehingga sekolah libur selama dua hari.Sekalipun hanya 4 hari namun mereka mengakui bahwa mereka sangat terbantu karena banyak mendapatkan hal-hal baru yang sungguh bermanfaat bagi mereka.Kami juga membagikan banyak video-video pembelajaran sebagai referensi tambahan untuk mereka.
Hari kelima tepatnya tanggal 17 Agustus 2018 berada di Timor Leste menjadi momen yang sangat tidak terlupakan bagi saya karena bertepatan dengan peringatan Dirgahayu kemerdekan Indoesia ke-73.Bersama para suster – suster Indonesia kami diajak untuk mengikuti upacara kemerdekaan di KBRI Indonesia untuk Timor Leste.Perasaan mengharu biru melanda saya ketika tim Paskibra membentangkan bendera dan menaikkannya ditambah lagi dengan dinyanyikannya lagu-lagu nasional. Sebelumnya menyanyikan lagu – lagu nasional ketika berada di di tanah air menjadi hal biasa bagi saya. Namun entah mengapa ketika lagu seperti Indonesia tanah air beta, Tanah Airku tidak kulupakan, Padamu Negeri, Rayuan Pulau Kelapadinyanyikan bersama warga negara Indonesia yang juga datang saat itu seakan menusuk amat tajam ke dalam sanubari. Tiba-tiba menjadi sangat rindu akan negeri tercinta.
Hari sabtu tanggal 18 Agustus 2018 menjadi hari perpisahan kami dengan seluruh siswa EB Sao Carlos karena hari Senin dan Selasanya mereka libur. Setelah berpamitan dengan siswa kami disuguhi berbagai tampilan dari ekstrakurikuler seperti ekskul tari, vocal grup, paduan suara dan English Club.Kami sungguh menikmati sajian demi sajian yang ditampilkan.Suara yang merdu dan tarian yang begitu enerjik sangat menghibur kami semua.Kemudian kami diajak berfoto bersama tiap-tiap kelas. Ada rasa sedih tergurat di wajah mereka karena tidak akan bertemunya lagi mereka dengan kami. Sekali lagi pemandangan yang luar biasa kami dapat lihat rasakan.Mereka saling berebutan untuk menyalami dan memeluk serta mencium kami.Acara perpisahan usai lalu aktivitas kami berikutnya adalah micro teaching bersama semua guru-guru disana.Hal yang tidak terpikirkan kami sebelumnya.Namun Madre Imelda meminta kami untuk mencontohkan kepada merekaagar mereka lebih paham lagi dan kami pun segera menyiapkannya.Proses micro teaching berjalan lancar disertai dengan tawa mereka karena muncul hal-hal yang menggelikan selama kami berproses bersama.
Momen yang tak kalah bahagianya adalah kegiatan outing. Bersama beberapa suster kami diajak berkunjung di beberapa kawasan wisata Timor Leste.Sighteeing kami pertama kali adalah Patung Christo Rei.Patung setinggi 27 meter ini adalah hadiah dari pemerintah Indonesia ketika masih bergabung dalam NKRI pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.Langit biru jernih dan awan putih berarak memayungi perjalanan kami menaiki tangga demi tangga menuju Patung Cristo Rei di bukit Fatucama. Rasa lelah menaiki tangga tidak lagi kami hiraukan karena rasa penasaran yang besar bagi kami untuk melihat Cristo Rei.Suasana religius sangat dirasakan sepanjang tangga hingga ke puncak bukit. Disini juga sering dipakai sebagai sarana ibadah khususnya umat Katholik.Lokasi yang sangat strategis yang berdiri di atas bukit dengan hamparan pantai berpasir putih membuat kami betah berlama menikmati keindahan dan kemegahan patung Cristo Rei berpadu dengan birunya pantai.
Malam harinya kami melanjutkan perjalanan kami ke pantai kelapa.Disini menyediakan wisata kuliner yang menyajikan beragam hasil olahan laut.Salah satu yang menjadi favorit saya adalah Suntu Tunu, kuliner berbahan cumi yang dibaluri olive oil dan dikucuri jeruk nipis lalu dibakar.Ukurannya yang jumbo dan rasanya yang lezat membuat saya ketagihan untuk menikmatinya.
Keesokan harinya outing kami lanjutkan dengan mengunjungi Patung John Paul II yang dibuat untuk mengenang kedatangan Paus Yohanes Paulus II ke Timor Leste saat masih bersatu dengan NKRI. Pemandangan yang kontras antara sisi kanan dengan bukit-bukit batu dan sisi kiri dengan hamparan Danau Tasi Tolu membuat perjalanan kesana terasa sangat menyenangkan.Kami juga mengunjungi sekolah dan bertemu para romo Jesuit yang juga memiliki karya pelayanan pendidikan di Timor Leste.Setelah makan siang dan beristirahat bersama di area rumah retreat kepunyaan romo berlokasi diatas bukit dengan pemandangan pantai dan dimanjakan angin semilir yang menyegarkan,kami melanjutkan perjalanan kami dengan mengunjungi Taman Makam Pahlawan Seroja yang terletak berdampingan dengan Pemakaman Santa Cruz. Taman makam ini dibangun untuk mengenang pejuang Indonesia yang gugur sewaktu masa konflik besar antara Timor Timur dan Indonesia.Perjalanan kami selanjutnya adalah mengunjungi supermarket dan Tais Market tempat menjual cendera mata dan berbagai jenis tenuntais khas Timor Leste.
Hari terakhir agenda outing kami adalah mengunjungi Pantai Baucau. Perjalanan kesana membutuhkan waktu 2 jam lebih. Perjalanan menggunakan mobil yang kami kendarai seakan merasakan perjalanan kami di negara Meksiko.Angin kencang dan debu tebal yang beterbangan akibat proses pembuatan jalan yang sedang dikerjakan serta terjalnya medan yang kami lalui tidak mengurangi keceriaan kami hingga sampai di Pantai Baucau. Beberapa menit beristirahat, kami mulai menyusuri pantai dengan pemandangan serba biru serta karang-karang yang tegak dengan kokoh memacu semangat kami untuk mengitari pantai meskipun terik matahari serasa membakar tubuh kami.Beberapa diantara kami ada yang berenang dan ada yang sekedar berjalan-jalan dan mengabadikan beberapa view yang begitu indah dengan kamera mereka.
Tanggal 21 Agustus 2018 menjadi hari terakhir kami berada di negarayang dikepalai oleh Presiden Francisco Guterres ini.Seluruh suster, guru TK dan guru SD Sao Carlos berkumpul bersama di ruang TK untuk mengadakan acara perpisahan.Kembali kami diajak untuk “tebe-tebe” oleh seluruh rekan-rekan yang datang.Suasana sukacita bercampur menjadi satu dengan rasa sedih karena kami harus meninggalkan mereka untuk kembali ke Indonesia.Malam itu setelah kami mengemasi barang-barang yang akan kami bawa kembali, kami diajak bersama untuk makan malam terakhir bersama para suster di biara.
Edisi khusus malam itu, madre Immaculata dan madre Ester membakarkan kami jagung dan pisang serta sajian lezat lainnya telah disiapkan para suster untuk kami semua.Akhirnya kami harus pulang kembali ke Indonsia. Setelah berpamitan kepada semua suster, Pak Ola, driver para suster serta Pak Rochela, salah satu wali murid siswa di EB Sao Carlos yang selama 10 hari dengan setia menemani perjalanan kami akhirnya mengantarkan kami ke bandara. Lebih kurang dua jam pesawat Sriwijaya membawa kami menuju Bandara Ngurah Rai untuk transit beberapa jam sebelum berangkat ke Jakarta. Pukul 00.30 kami tiba di bandara Soekarno Hatta.Dua buah mobil kantor pusat beserta driver telah menanti kamicukup lama disana. Merekapun langsung mengantarkan kami kembali ke TDC Rawamangun untuk beristirahat setelah perjalanan panjang kami.Keesokan harinya setelah sarapan bersama, kami diajak mengunjungi Kantor Yayasan Tarakanita Pusat dan bertemu rekan-rekan disana serta sharing dan evaluasi bersama tentang pengalaman-pengalaman apa saja yang telah kami dapatkan selama berada di Timor Leste. Setelah semua urusan diselesaikan dan mengemasi kembali barang-barang yang sempat terbongkar lagi, satu persatu dari kami berpamitan dan terbang kembali ke kota kami masing-masing membawa cerita indah dari Bumi Lorosae untuk kami bagikan kepada rekan-rekan di wilayah tempat kami berkarya.
Tak cukup kata maupun kalimat yang dapat saya ungkapkan selain rasa syukur tak terhingga atas Anugerah dari Allah Bapa yang Maha Kasih dan juga terimakasih saya kepada Yayasan Tarakanita yang telah memberikan kesempatan luar biasa bagi saya dapat bergabung dengan tim mentoring di Sekolah Sao Carlos, Timor Leste periode kedua. Selama berproses bersama tim mentoring sungguh banyak pengalaman yang berharga yang tak akan terlupakan. Saya diperkaya dengan berbagai pengetahuan baru seperti model pembelajaran “lesson study”, bahasa baru (bahasa tetun), keluarga baru dan pengalaman baru bersama guru dan siswa disana sungguh berguna sekali bagi pengembangkan diri saya untuk lebih baik lagi dalam karya pelayanan saya khususnya di dunia pendidikan.
Setelah melewati 2 minggu berproses yang dimulai dari pembekalan oleh para pembimbing kami hingga proses mentoring guru-guru serta perjalanan wisata selama disana menambah banyak cerita indah baru dalam jurnal saya di tahun ini.Pengalaman yang tak kalah pentingnya bagi saya juga adalah pengalaman “live in” bersama para suster CB di Biara Bebora.Nilai kedisiplinan, keteraturan, ketaatan, totalitas, semangat, daya juang, bela rasa begitu melekat dalam keseharian para suster yang dapat saya petik serta terapkan dalam diri saya baik untuk kehidupan pribadi maupun dalam dunia pekerjaan saya. Semoga hari-hari mendatang akan ada kesempatan lagi bagi saya dapat mengunjungi negeri ini khususnya sekolah Sao Carlos yang menjadi sebuah sekolah harapan besar pencetak generasi masa depan yang berkualitas dan berkarakter bagi negara Timor Leste. Dengan semangat kasih dan bela rasa yang diwariskan oleh Bunda Elisabet dan dihidupi oleh spiritualitas Carolus Borromuesdiiringi dengan peningkatan kualitas yang terus menerus, saya sangat yakinSekolah Sao Carlos akan menjadi sekolah yang diunggulkan dan diminati oleh masyarakat Timor dan membawa sumbangsih besar bagi kemajuan negerinya. Besar harapan saya agar program mentoring ini terus dilaksanakan karena sangat besar manfaatnya sebagai sebuah sarana pengembangan diri bagi guru-guru di sekolah Tarakanita seperti yang telah saya rasakan.
Tarakanita, you are always in my heart. Jayalah selalu! Obrigado
(Maria Lumban Gaol, S.Pd.)
-
there are no comments yet